10 Jan 2008

Prioritas Ilmu Atas Amal

Fiqh Prioritas
Dr. Yusuf Al-Qardhawi

DI ANTARA pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah prioritas  ilmu  atas  amal.  Ilmu  itu harus didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan petunjuk  dan  pemberi  arah  amal yang  akan  dilakukan.  Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."

Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang  ilmu dalam  Jami'  Shahih-nya,  dengan  judul  "Ilmu itu Mendahului Perkataan dan Perbuatan." Para pemberi syarah  atas  buku  ini menjelaskan  bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus menjadi  syarat  bagi  ke-shahih-an  perkataan  dan  perbuatan seseorang.  Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan ilmu; sehingga ilmu itu  didahulukan  atas  keduanya.  Ilmulah yang  membenarkan  niat  dan  membetulkan  perbuatan yang akan dilakukan.  Mereka  mengatakan:  "Bukhari  ingin  mengingatkan orang  kepada  persoalan  ini,  sehingga  mereka  tidak  salah mengerti dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat  kecuali disertai  dengan  amal  yang pada gilirannya mereka meremehkan ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya."

Bukhari mengemukakan  alasan  bagi  pernyataannya  itu  dengan mengemukakan sebagian ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw:

"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan..." (Muhammad: 19)

Oleh karena itu,  Rasulullah  saw  pertama-tama  memerintahkan umatnya  untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan ampunan yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam ayat  itu  ditujukan  kepada  Nabi  saw,  tetapi ayat ini juga mencakup umatnya.

Dalil yang lainnya ialah ayat berikut ini:

"... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama..." (Fathir: 28)

Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada  Allah, dan mendorong manusia kepada amal perbuatan.

Sementara   dalil   yang   berasal  dari  hadits  ialah  sabda Rasulullah saw:

"Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya."2

Karena bila dia memahami ajaran agamanya,  dia  akan  beramal, dan melakukan amalan itu dengan baik.

Dalil   lain   yang   menunjukkan   kebenaran   tindakan  kita mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali diturunkan  ialah  "Bacalah."  Dan  membaca  ialah  kunci ilmu pengetahuan;  dan  setelah  itu  baru  diturunkan  ayat   yang berkaitan dengan kerja; sebagai berikut:

"Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah." (al-Muddatstsir: 1-4)

Sesungguhnya ilmu  pengetahuan  mesti  didahulukan  atas  amal perbuatan,  karena  ilmu  pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat  manusia; antara  yang  benar  dan yang salah di dalam perkataan mereka;antara perbuatan-perbuatan yang  disunatkan  dan  yang  bid'ah dalam  ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah; antara tindakan yang  halal  dan  tindakan yang  haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang  ditolak; antara  perbuatan  dan  perkataan  yang bisa diterima dan yang tidak dapat diterima.

Oleh sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita yang   memulai   karangan   mereka  dengan  bab  tentang  ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh  Imam  al-Ghazali ketika menulis buku Ihya' 'Ulum al-Din; dan Minhaj al-'Abidin. Begitu pula yang dilakukan oleh al-Hafizh  al-Mundziri  dengan bukunya   at-Targhib   wat-Tarhib.   Setelah  dia  menyebutkan hadits-hadits tentang  niat,  keikhlasan,  mengikuti  petunjuk al-Qur'an  dan  sunnah  Nabi saw; baru dia menulis bab tentang ilmu pengetahuan.

Fiqh prioritas yang sedang kita perbincangkan  ini  dasar  dan porosnya  ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus diakhirkan.  Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah, dan melakukan tindakan yang tidak karuan.

Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin  Abd al-Aziz,  "Barangsiapa  melakukan  suatu  pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak  lebih  banyak daripada apa yang dia perbaiki."3

Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan,  keikhlasan, dan   semangatnya;   tetapi   mereka   tidak   mempunyai  ilmu pengetahuan,  pemahaman  terhadap  tujuan  ajaran  agama,  dan hakikat agama itu sendiri.

Seperti  itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu Thalib r.a.  yang  banyak  memiliki  keutamaan  dan  sumbangan kepada  Islam,  serta  memiliki  kedudukan  yang  sangat dekat dengan Rasulullah  saw  dari  segi  nasab,  sekaligus  menantu beliau   yang  sangat  dicintai  oleh  beliau.  Kaum  Khawarij menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT.

Mereka,   kaum   Khawarij   ini,   merupakan  kelanjutan  dari orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang  pernah dilakukan  oleh  Rasulullah  saw,  yang  berkata kepada beliau dengan kasar dan  penuh  kebodohan:  "Berbuat  adillah  engkau ini!"  Maka  beliau  bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak  adil, maka engkau akan sia-sia dan merugi. "

Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar yang  disampaikan   kepada   Rasulullah   saw   ialah   'Wahai Rasulullah,  bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah saw menyergah ucapan itu sambil berkat, "Bukankah aku penghuni bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?"

Orang   yang  mengucapkan  perkataan  itu  sama  sekali  tidak memahami  siasat  Rasulullah  saw   untuk   menundukkan   hati orang-orang  yang  baru  masuk Islam, dan pengambilan berbagai kemaslahatan  besar  bagi  umatnya,  sebagaimana  yang   telahdisyari'ahkan  oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah saw diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang diberikan  oleh  kaum  Muslimin.  Lalu bagaimana halnya dengan harta pampasan perang?

Ketika sebagian sahabat memohon  izin  kepada  Rasulullah  saw untuk   membunuh  para  pembangkang  itu,  beliau  yang  mulia melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang  munculnya kelompok orang seperti itu dengan bersabda:

"Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian dibandinglan dengan shalat yang mereka lakukan, meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan amal mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya."

Makna ungkapan  "fidak lebih dari kerongkongan  mereka"  ialah bahwa  hati  mereka  tidak  memahami apa yang mereka baca, dan akal mereka  tidak  diterangi  dengan  bacaan  ayat-ayat  itu. Mereka  sama  sekali  tidak  memanfaatkan apa yang mereka baca itu, walaupun mereka banyak mendirikan  shalat  dan  melakukan puasa.

Di  antara  sifat  yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok itu ialah bahwa,

"Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala."4

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka  bukanlah  terletak pada  perasaan  dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal pikiran  dan  pemahaman  mereka.  Oleh  karena   itu,   mereka dikatakan dalam hadits yang lain sebagai:

"Orang-orang muda yang memilih impian yang bodoh." 5

Mereka baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan  pemahaman yang  tidak  sempurna,  tetapi  mereka  tidak mau memanfaatkan kitab Allah padahal  mereka  membacanya  dengan  sangat  baik, tetapi  bacaan  yang  tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin mereka memahaminya dengan  cara  yang  tidak  benar,  sehingga bertentangan  dengan  maksud  ayat  yang diturunkan oleh Allah SWT.

Oleh karena itu, Imam  Hasan  al-Bashri  memperingatkan  orang yang  tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya dengan  ilmu  pengetahuan  dan  pemahaman.   Dia   mengucapkan perkataan yang sangat dalam artinya,

"Orang yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu pengetahuan tentang itu, bagaikan orang yang melangkahkan kaki tetapi tidak meniti jalan yang benar. Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada perbaikan yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak mengganggu ibadah yang engkau lakukan. Dan beribadahlah selama ibadah itu tidak mengganggu pencarian ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum Muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka meninggalkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw. Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka lakukan itu."6

ILMU MERUPAKAN SYARAT BAGI PROFESI KEPEMIMPINAN (POLITIK, MILITER, DAN KEHAKIMAN)

Dari uraian tersebut dapat dikatakan  bahwa  ilmu  pengetahuan merupakan  syarat  bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam bidang politik maupun administrasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Yusuf as ketika berkata kepada Raja Mesir:

" ... sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami." Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (Yusuf: 54-55)

Yusuf as menunjukkan keahliannya dalam  pekerjaan  besar  yang ditawarkan   kepadanya,  yang  mencakup  pengurusan  keuangan, ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistik pada waktu  itu. Yang  terkandung  di  dalam  keahlian  itu  ada dua hal; yakni penjagaan (yang lebih tepat dikatakan  "kejujuran")  dan  ilmu pengetahuan  (yang  dimaksudkan  di  sini ialah pengalaman dan kemampuan). Kenyataan itu sesuai  dengan  apa  yang  dikatakan oleh  salah  seorang  anak  perempuan  Nabi  besar dalam surah al-Qashash:

"... karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (al-Qashash: 26)

Ia juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam  dunia  militer; sebagaimana  difirmankan  oleh  Allah  SWT  ketika  memberikan alasan bagi pemilihan Thalut sebagai raja atas bani Israil:

"... Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu pengetahuan yang luas dan tubuh yang perkasa..." (al-Baqarah, 247)

Pedoman  itu  juga   sepatutnya   diberlakukan   dalam   dunia kehakiman,  sehingga  orang-orang yang hendak diangkat menjadi hakim  diharuskan  memenuhi   syarat   seperti   syarat   yang diberlakukan  bagi  orang  yang hendak menjadi khalifah. Untuk menjadi hakim itu tidak cukup hanya dengan menyandang  sebagai ulama   yang  bertaqlid  kepada  ulama  lainnya.  Karena  pada dasarnya, ilmu pengetahuan  merupakan  kebenaran  itu  sendiri dengan  berbagai  dalilnya,  dan  bukan  ilmu pengetahuan yang diberitahukan oleh Zaid atau Amr. Orang-orang  yang  bertaqlid kepada  manusia yang lainnya tanpa ada alasan yang membenarkan tindakannya, atau ada  alasannya  tetapi  sangat  lemah,  maka orang itu dianggap tidak mempunyai ilmu pengetahuan.

Keputusan  hukum  yang  diterima  dari  orang  yang  melakukan taqlid, adalah sama dengan kekuasaan yang dilakukan oleh orang yang  tidak  mempunyai  ilmu pengetahuan, yang sangat penting. Akan tetapi ada batasan-batasan tertentu dan minimal bagi ilmu pengetahuan  yang  mesti  dikuasai oleh hakim itu. Jika tidak, maka dia akan membuat keputusan  hukum  berdasarkan  kebodohan dan akan menjadikannya sebagai penghuni neraka.

Dalam  sebuah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  Buraidah dari Rasulullah saw bersabda,

"Ada tiga golongan hakim. Dua golongan berada di neraka, dan satu golongan lagi berada di surga. Yaitu seorang yang mengetahui kebenaran kemudian dia membuat keputusan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada di surga. Seorang yang memberikan keputusan hukum yang didasarkan atas kebodohannya, maka dia berada dineraka. Kemudian seorang yang mengetahui kebenaran tetapi dia melakukan kezaliman dalam membuat keputusan hukum, maka dia berada di neraka."7

PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI MUFTI (PEMBERI FATWA)

Persoalan yang serupa dengan kehakiman ialah pemberian  fatwa. Seseorang  tidak boleh memberikan fatwa kepada manusia kecuali dia  seorang  yang  betul-betul  ahli  dalam  bidangnya,   dan memahami   ajaran   agamanya.   Jika   tidak,  maka  dia  akan mengharamkan yang halal dan menghalalkan hal-hal  yang  haram; menggugurkan  kewajiban,  mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, menetapkan hal-hal yang bid'ah dan membid'ahkan  hal-hal  yang disyariahkan;   mengkafirkan   orang-orang  yang  beriman  dan membenarkan  orang-orang  kafir.  Semua  persoalan  itu,  atau sebagiannya,  terjadi  karena ketiadaan ilmu dan fiqh. Apalagi bila hal itu disertai dengan keberanian yang sangat berlebihan dalam  memberikan  fatwa,  serta melanggar larangan bagi siapa yang mau melakukannya. Hal ini dapat  kita  lihat  pada  zaman kita  sekarang  ini, di mana urusan agama telah menjadi barang santapan yang empuk bagi siapa  saja  yang  mau  menyantapnya; asal memiliki kemahiran dalam berpidato, keterampilan menulis; padahal al-Qur'an, sunnah Nabi  saw,  dan  generasi  terdahulu umat  ini sangat berhati-hati dalam menjaga hal ini. Tidak ada orang yang berani melakukan hal itu kecuali  orang-orang  yang benar-benar  mempunyai  keahlian  di  dalam  bidangnya,  serta memenuhi  syarat  untuk  persoalan  tersebut.   Betapa   sulit sebenarnya untuk memenuhi syarat-syarat itu.

Sebenarnya  Nabi  saw  sangat  tidak  suka  kepada  orang yang tergesa-gesa memberikan  fatwa  pada  zamannya.  Ada  sebagian orang  yang  memberikan  fatwa  kepada salah seorang di antara mereka yang terluka  ketika  mereka  berjinabat  untuk  mandi, tanpa  mempedulikan  luka  yang  dideritanya. Sehingga hal itu menyebabkan kematiannya. Maka Rasulullah saw bersabda,

"Karena mereka telah membunuhnya, maka semoga Allah akan membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak tahu. Sebenarnya kalau mereka mau bertanya, maka orang itu bisa sembuh. Sebenarnya bagi orang seperti itu hanya cukup bertayammum saja..." 8

Lihatlah bagaimana Rasulullah saw menganggap bahwa fatwa  yang diberikan  oleh  mereka  sama dengan pembunuhan terhadap orang tersebut, sehingga beliau mendoakan mereka, "Semoga Allah juga membunuh  mereka."  Oleh  karena  itu,  fatwa yang keluar dari kebodohan dapat membunuh jiwa dan membawa kerusakan. Dan  pada akhirnya,  Ibn  al-Qayyim dan ulama yang lainnya sepakat untuk mengharamkan pemberian fatwa dalam urusan agama tanpa disertai dengan ilmu pengetahuan; berdasarkan firman Allah SWT:

"... dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (al-A'raf: 33)

Banyak sekali hadits, qaul  sahabat,  dan  generasi  terdahulu umat  ini  yang melarang pemberian fatwa bagi orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan.

Ibn Sirin berkata, "Seorang lelaki  yang  mati  dalam  keadaan bodoh  itu  lebih baik daripada dia mati dalam keadaan berkata tentang sesuatu yang  dia  tidak  mempunyai  ilmu  pengetahuan tentang itu."

Abu Hushain al-Asy'ari berkata, "Sesungguhnya salah seorang di antara mereka ada yang memberi fatwa dalam suatu masalah. Jika hal  ini  berlaku  pada zaman Umar, maka dia akan mengumpulkan para pejuang Perang Badar."

Lalu, bagaimana bila Umar melihat keberanian orang pada  zaman
kita sekarang ini?

Ibn  Mas'ud dan Ibn 'Abbas berkata, "Barangsiapa memberi fatwa kepada orang ramai  tentang  apa  saja  yang  mereka  tanyakan kepadanya, maka dia termasuk orang gila."

Abu  Bakar  berkata,  "kangit  mana yang melindungi diriku dan bumi mana  yang  akan  menjadi  tempat  pijakanku,  kalau  aku mengatakan sesuatu yang tidak kuketahui."

Ali    berkata,    "Hatiku   menjadi   sangat   tenang   --dia mengucapkannya sebanyak tiga kali-- bila  ada  seorang  lelaki yang  ditanya  tentang  sesuatu  yang  dia ketahui, tetapi dia tetap mengatakan, 'Allah yang Maha Tahu.'"

Ibn al-Musayyab, tokoh  senior  tabi'in,  apabila  dia  hendak memberikan  fatwa  dia berkata, "Ya Allah, selamatkan aku, dan benarkan apa yang keluar dari diriku."

Semua ini menunjukkan bahwa  kita  perlu  sangat  berhati-hati dalam memberikan fatwa. Selain itu, fatwa harus diberikan oleh orang-orang  yang  betul-betul  memiliki   ilmu   pengetahuan, wawasan  yang  luas,  wara',  yang  menjaga  diri  dari setiap kemaksiatan, tidak menuruti hawa nafsunya  sendiri  atau  hawa nafsu orang lain.

Atas  dasar  uraian tersebut, sangatlah mengherankan bila para pelajar ilmu syariah --kebanyakan pelajar yang baru masuk pada fakultas  ini--  tergesa  gesa memberikan fatwa dalam berbagai persoalan yang sangat pelik,  problema  yang  sangat  penting, mendahului  para ulama besar, dan bahkan berani menentang para imam  mazhab  besar,   para   sahabat   yang   mulia,   dengan menyombongkan  diri  seraya  mengatakan, "Mereka orang lelaki, dan kamipun orang lelaki."

Pertama-tama  yang  diperlukan  oleh  seseorang  yang   hendak memberikan  fatwa  ialah  mengukur  kemampuan dirinya sendiri, kemudian memahami berbagai tujuan syari'ah,  memahami  hakikat dan  kenyataan  hidup.  Akan  tetapi,sangat  disayangkan bahwa mereka tertutup  oleh  penghalang  yang  sangat  besar,  yaitu ketertipuan  dengan  diri  mereka  sendiri. Sesungguhnya tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT.

PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI DA'I DAN GURU (MUROBI)

Jika ilmu pengetahuan harus dimiliki oleh orang yang  bergelut dalam dunia kehakiman dan fatwa, maka dia juga diperlukan oleh dunia da'wah dan pendidikan. Allah SWT berfirman:

"Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata..." (Yusuf: 108)

Setiap juru da'wah --dari pengikut Nabi saw-- harus  melandasi da'wahnya  dengan  hujjah  yang  nyata.  Artinya,  da'wah yang dilakukan   olehnya   mesti    jelas,    berdasarkan    kepada hujjah-hujjah  yang  jelas  pula.  Dia  harus  mengetahui akan dibawa ke mana orang yang dida'wahi olehnya?  Siapa  yang  dia ajak? Dan bagaimana cara dia berda'wah?

Oleh  karena  itu, mereka berkata tentang orang rabbani: yaitu orang  yang  berilmu,  beramal,   dan   mengajarkan   ilmunya; sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT:

"... akan tetapi (dia) berkata, 'Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu telah mempelajarinya." (Ali 'Imran: 79)

Ibn Abbas memberikan penafsiran atas  kata  "rabbani"  sebagai para ahli hikmah sekaligus fuqaha.9

Ada  yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rabbani ialah orang yang mengajar manusia dengan ilmu kecilnya sebelum  ilmu itu menjadi besar.

Yang  dimaksud dengan ilmu kecil ialah ilmu yang sederhana dan persoalannya jelas.  Sedangkan  ilmu  besar  ialah  ilmu  yang pelik-pelik.  Ada  pula  yang  mengatakan  bahwa rabbani ialah orang  yang  mengajarkan  ilmu-ilmu   yang   parsial   sebelum ilmu-ilmu   yang  universal,  atau  ilmu-ilmu  cabang  sebelum ilmu-ilmu yang pokok, ilmu-ilmu  pengantar  sebelum  ilmu-ilmu yang inti.10

Yang  dimaksudkan dengan pernyataan itu ialah bahwa pengajaran itu dilakukan secara bertahap,  dengan  memperhatikan  kondisi dan   kemampuan   orang   yang   diajarnya,   sehingga   dapat ditingkatkan sedikit demi sedikit.

Persoalan yang perlu diperhatikan  oleh  orang  yang  bergerak dalam bidang da'wah dan pendidikan ialah bahwa juru da'wah dan pendidik itu mesti mengambil jalan yang paling mudah dan bukan jalan   yang   susah;   memberikan  kabar  gembira  dan  tidak menakut-nakuti mereka;  sebagaimana  disebutkan  dalam  sebuah hadits   yang  disepakati  ke-shahih-annya  oleh  Bukhari  dan Muslim,

"Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari."11

Al-Hafizh ketika memberikan  penjelasan  terhadap  hadits  ini mengatakan,

"Yang dimaksudkan dengan hal ini ialah menarik simpati hati orang yang hampir dekat dengan Islam, dan tidak melakukan da'wah dengan cara yang keras dan kasar pada awal mula kegiatan da'wah itu. Begitu pula hendaknya kecaman terhadap orang yang suka melakukan kemaksiatan. Kecaman itu hendaknya dilakukan secara bertahap. Karena sesungguhnya sesuatu yang pada tahap awalnya dapat dilakukan dengan mudah, maka orang akan bertambah senang untuk memasukinya dengan hati yang lapang. Pada akhirnya, dia akan bertambah baik sedikit demi sedikit. Berbeda dengan cara berda'wah yang dilakukan dengan keras dan kasar." 12

Yang  dimaksudkan  dengan  perkataan  ,mempermudah,  di   situ bukanlah  terbatas  pada orang-orang yang hampir dekat hatinya dengan Islam,  sebagaimana  yang  dijelaskan  oleh  al-Hafizh, tetapi   ia   berlaku   lebih   umum  dan  permanen.  Misalnya mempermudah jalan bagi orang  yang  hendak  melakukan  taubat, atau  kepada  setiap orang yang memerlukan keringanan; seperti orang yang sakit atau  sudah  tua  usianya,  atau  orang  yang berada di dalam keadaan yang mendesak.

Di  antara  keharusan  yang  berlaku di dalam ilmu pengetahuan ialah upaya untuk mencari  ilmu-ilmu  agama  sejauh  kemampuan yang  dimiliki  oleh  seseorang, sesuai dengan kadar kemampuan otaknya untuk menerima ilmu pengetahuan  tersebut.  Dia  tidak boleh   mengucapkan  sesuatu  yang  tidak  cocok  dengan  akal pikirannya, sehingga hal itu  malah  berbalik  menjadi  fitnah bagi dirinya dan juga kepada orang lain. Sehubungan dengan hal ini Ali r.a.  berkata,  "Berbicaralah  kepada  manusia  sesuai dengan  kadar  pengetahuan  mereka.  Tinggalkan apa yang tidak cocok dengan akal pikiran mereka.  Apakah  engkau  menghendaki mereka  mengatakan  sesuatu  yang  bohong  terhadap  Allah dan rasul-Nya?" 13

Ibn Mas'ud r.a.  berkata,  "Engkau  tidak  layak  menyampaikan sesuatu  yang tidak sesuai dengan kadar kemampuan otak mereka. Jika tidak, maka engkau akan menimbulkan fitnah pada  sebagian orang itu."14.

Catatan Kaki:

1 Diriwayatkan oleh Ibn 'Abd al-Barr dan lainnya dari Mu'adz, sebagai hadits marfu' dan mauquf, tetapi hadits ini lebih benar digolongkan kepada hadits mauquf. ^
2 Baca, Shahih al-Bukhari dan Fath al-Bari, 1:158-162, cet. Dar al-Fikr yang disalin dari naskah lama.^
3 Baca Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadhlih, karangan Ibn 'Abd al-Barr, 1:27, cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah^
4 Lihatlah sifat-sifat mereka dalam buku al-Lu'lu' wa al-Marjan fima Ittafaqa 'alaih al-Syaikhani, khususnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Jabir,  Abu Sa'id,  Ali, dan Sahal bin Hunaif (638-644).^
5 Hadits Ali, Ibid.^
6 Ucapan ini dikutip oleh Ibn Hazm dalam bukunya, Miftah Dar al-Sa'adah,  h. 82^
7 Diriwayatkan oleh para penulis Sunan Arba'ah dan al-Hakim; sebagai mana diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Ya'la, dan Baihaqi dari Ibn Umar; seperti yang dimuat di dalam al-Jami' as-Shaghir. (4446) dan (4447).^
8 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dan diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Ibn 'Abbas. Lihat Shahih al-Jami' as-Shaghir (4362) dan (4363).^
9 Hal ini disebutkan oleh Bukhari ketika memberikan komentar pada bab "Ilmu" dalam Shahih-nya. Al-Hafizh berkata dalam Fath-nya, "Hadits ini sampai Ibn Abi 'Ashim dengan isnad hasan. Dan juga diriwayatkan oleh al-Khathib dengan isnad hasan yang berbeda." 1: 161^
10 al-Fath, 1: 162`^
11 Diriwayatkan oleh al-Syaikhani dari Anas, sebagaimana disebutkan di dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan^
12 al-Fath, 1: 163^
13 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-'Ilm, secara mauquf atas Ali r.a. (Lihar al-Fath. 1 225)^
14 Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukadimah as-Shahih secara mauquf atas Ibn Mas'ud. Ibid.^

:: bookmark: pakdenono ::

0 comments:

Posting Komentar