1 Feb 2008

Banjir,Era Nuh hingga Bang Yos

Oleh: Endang Suryadinata

Melihat besarnya banjir di Jakarta dan sekitarnya yang menewaskan 36 orang hingga Selasa (6/2) dan ratusan ribu mengungsi, penulis teringat banjir besar dalam berbagai peradaban umat manusia.

Sejarah dunia, sejarah umat manusia dari zaman dulu hingga saat ini, salah satunya memang selalu ditandai dengan banjir besar. Kita tentu ingat, agama-agama samawi seperti Yahudi,Kristen,atau Islam punya kisah tentang Nabi Nuh yang amat fenomenal.
Alkitab,khususnya Kitab Kejadian, menulis bahwa Allah melihat manusia makin lama makin jahat, lalu memutuskan untuk memusnahkannya kecuali Nuh dan keluarganya, serta binatang-binatang darat yang turut dalam bahtera Nuh yang telah dibuat Nuh sebelumnya. Dalam Alquran, juga ditampilkan dialog yang menarik antara Nabi Nuh dan anaknya:
”Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung, dan Nuh memanggil anaknya, sedangkan anak itu berada di tempat jauh terpencil: ”Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orangorang yang kafir.” Anaknya menjawab: ”Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: ”Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS Huud: 42-43).

Yang mengherankan, kisah air bah seperti itu juga ada dalam berbagai peradaban. Jauh sebelum kisah Nabi Nuh beredar,orang Yunani juga sudah punya mitologi bahwa Dewa Zeus memutuskan untuk memusnahkan manusia yang menjadi semakin sesat, dengan sebuah banjir besar. Hanya Deucalion dan istrinya, Pyrrha, yang selamat dari banjir, karena ayah Deucalion sebelumnya telah menyarankan anaknya untuk membuat sebuah kapal. Pasangan ini mendarat di Gunung Parnassis sembilan hari setelah menaiki kapal. Dalam sejarah Tiongkok kuno, juga dikisahkan tentang seseorang yang bernama Yao bersama tujuh orang lain, atau Fa Li bersama istri dan anakanaknya, yang selamat dari bencana banjir dan gempa bumi dalam sebuah perahu layar.

Disebutkan,seluruh dunia hancur. Air menyembur dan menenggelamkan semua tempat. Akhirnya, air pun surut. Sebelum datangnya agama-agama samawi, orang Sumeria atau Babilonia (Irak kuno) juga sudah punya kisah senada dengan kisah Nabi Nuh yang disebut epik atau kisah Gilgamesh.Nabi Nuh dalam versi mereka bernama Utnaphishtim, yang juga mendapat perintah secara supernatural untuk membangun bahtera agar dapat menyelamatkan diri dari banjir raksasa.

Dalam cerita versi Sumeria ini, juga terdapat hal yang sama dengan Nuh, yakni Utnaphishtim melepas burung untuk mengetahui apakah banjir telah surut atau belum, persis seperti yang dilakukan Nabi Nuh. Hebatnya, kisah Gilgamesh dan Nabi Nuh disatukan dalam benang merah bahwa di kota Ur,Erech di Sumeria yang saat ini dikenal sebagai ”Tall Al Uhaimer” atau Kota Shuruppak di sebelah selatan Mesopotamia, yang saat ini bernama ”Tall Far’ah” menyimpan jejakjejak nyata bahwa dulu pernah terjadi banjir di kawasan tersebut, seperti disimpulkan arkeolog Erich Schmidt dari Universitas Pennsylvania antara tahun 1922–1930.

Jadi kota-kota di Irak kuno, yang dicatat sejarah sebagai kawasan berperadaban tinggi pertama di dunia, karena di sana dimulai keberadaan tulis menulis dan agama pertama, dalam satu kurun waktu tertentu ternyata pernah disapu banjir besar seperti tampak dari struktur tanah dan temuan hewanhewan laut. Quran atau Alkitab memang menyebutkan, gara-gara manusia mulai menyimpang jauh dari Sang Pencipta, maka banjir besar didatangkan sebagai hukuman atas kota-kota besar di Irak kuno tersebut. Bahkan, kepercayaan semacam ini juga masih kita dengarkan hingga sekarang di negeri kita. Banjir besar yang melanda Jakarta konon memang sebuah hukuman besar karena di ibu kota RI itu korupsi dan kemaksiatan sudah menjadi hal yang biasa.

Praksis politik dan bisnis yang menghalalkan semua cara sudah susah dikendalikan. Tentu kepercayaan semacam itu bisa dinilai simplistis, tapi kita tidak bisa menghakimi kepercayaan seperti itu. Tapi sudahlah.Yang lebih penting kita ketahui, sejak era kolonial Belanda, tepatnya di awal abad ke-20, sudah ada upaya melawan banjir secara terpadu di Jakarta yang ketika itu bernama Batavia. Dalam konteks ini, kita mengenal Prof Dr Herman van Breen, yang namanya tak bisa dipisahkan dari perjuangan awal di Jakarta untuk melawan. Dialah yang mengepalai dan menyusun rencana pencegahan banjir, yang dibentuk kantor dinas pengairan pemerintah kolonial Belanda pada 1918. Itu dilakukan setelah Batavia alias Betawi,sebutan Jakarta waktu itu, dilanda banjir besar yang merenggut banyak nyawa warganya.

Van Breen bersama timnya menyusun konsep yang sistematis untuk menanggulangi banjir di seluruh wilayah Batavia yang luasnya 2.500 hektare. Setelah melakukan mengkaji berbagai penyebabnya,Van Breen berhasil menyusun strategi pencegahan banjir yang dinilai cukup berhasil untuk ukuran masa itu.Van Breen mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air yang masuk kota.Karena itu, perlu dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, yang selanjutnya dialirkan ke laut lewat sisi barat kota.Saluran kolektor itulah yang kini dikenal sebagai Banjir Kanal Barat, yang membelah Jakarta mulai dari Pintu Air Manggarai sampai ke Muara Angke.

Namun sebagai ibu kota negeri ini sejak 1945, perluasan kota seperti menjadi keniscayaan.Bayangkan luas Jakarta sekarang mencapai 65 ribu hektare. Luas Jakarta sudah puluhan kali lipat dibandingkan luas di masa Van Breen. Luasnya kota tentu mengundang kompleksitas permasalahan sehingga berujung pada siklus banjir lima tahunan yang menenggelamkan dan melumpuhkan Jakarta. Yang menyedihkan seiring surutnya banjir, justru mulai marak banjir saling menyalahkan. Bang Yos menyalahkan besarnya banjir kiriman dari Bogor, sementara banyak pihak juga menyalahkan Bang Yos yang membiarkan reklamasi pantai utara Jakarta dan beberapa perumahan, seperti Perum Indah Kapuk dan Kelapa Gading.

Banyak mal, apartemen, dan berbagai gedung dengan pertimbangan bisnis membuat daerah resapan air hujan kian berkurang. Para pengelola kota, meminjam istilah pakar hukum lingkungan Unair Suparto Wijoyo, jika tidak punya kepekaan atas lingkungan memang bisa menjadi predator bagi segenap warga kota. Ini senada dengan pendapat Prof John Rennie Short dalam buku Urban Theory, A Critical Assessment (2006) bahwa kekurangpekaan para pengelola kota negara berkembang atas masalah lingkungan bisa memunculkan ”wounded cities” atau kota-kota yang terluka. Warga Ibu Kota hari-hari ini merasakan sendiri luka akibat banjir besar ini. Luka akibat banjir itu jelas tidak boleh dibiarkan menganga terus atau terulang lagi setiap lima tahun. Jadi, solusi harus tetap dicari.

Dalam hal ini,boleh jadi kita perlu belajar dari kota-kota di Belanda yang letaknya lebih rendah dari permukaan air laut, tapi di sana tidak pernah ada banjir besar, karena sistem drainase dan kanal sudah diatur sedemikian rupa sehingga datangnya air yang melimpah seperti di musim hujan tidak menyebabkan banjir. Jadi jangan sampai kita menyalahkan hujan,karena sejak zaman dahulu di negeri tropis seperti Indonesia, hujan memang selalu turun setiap tahun dalam kurun waktu tertentu. Kita ingat pada hari ulang tahun ke- 475 Jakarta, 22 Juni 2002 lalu, Bang Yos meresmikan dimulainya pembangunan saluran air sepanjang 23,6 km yang disebut Banjir Kanal Timur (BKT) untuk meniru Banjir Kanal Barat ala Van Breen.

Sayang, pembangunan BKT terkendala pembebasan tanah, padahal BKT merupakan salah satu solusi yang memungkinkan untuk mengatasi banjir di Jakarta.Jika BKT ini tidak terealisasi dalam waktu dekat,bisa dipastikan banjir akan selalu terulang sebagaimana sejarah selalu berulang. Maka pemindahan Jakarta ke tempat lain, rasanya menjadi wacana yang menarik.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/banjir-era-nuh-hingga-ban

ENDANG SURYADINATA Peminat politik dan sejarah, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam
***

0 comments:

Posting Komentar